BAB l
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Mempelajari sejarah kebudayaan yang terdapat pada seluruh bangsa dan di seluruh dunia, ternyata kelompok, masyarakat, atau yang disebut bangsa hidup dengan cara-cara yang dibentuknya sendiri. Setiap kelompok tersebut memiliki kebudayaannya masing-masing. Ada pula unsur budaya yang tidak dapat langsung dilihat. Misalnya, norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam budaya.
Budaya tidak ada yang asli dalam arti tidak semua unsurnya selalu berasal dari dalam budaya itu sendiri. Budaya yang tidak terpengaruh oleh budaya lain akan terisolasi dan tidak bisa berkembang dan pada akhirnya akan lenyap. Pengaruh atau pengambilan unsur-unsur budaya dari luar sebenarnya bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup budayanya.
Hal tersebut tidak lepas dari perananan arus globalisasi. Apakah arus globalisasi dapat dibnedung? Satu hal sudah pasti, arus globalisasi sukar dibendung. Karena ada sisi positif maupun negatif dari arus globalisasi.
1.2 Rumusan Masalah
”Apakah Hubungan Antara Pluralisme Budaya dan Tantangan Arus Globalisasi di Indonesia?”
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui hubungan antara pluralisme budaya dan tantangan arus globalisasi di Indonesia.
BAB ll
KERANGKA TEORITIS
2.1 Definis Antropologi
2.1.1 Definisi Antropologi secara Etimologi
Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbandingan/ perbedaan budaya antar manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak diperdebatkan dan menjadi kontroversi sehingga metode antropologi sekarang seringkali dilakukan pada pemusatan penelitan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal.
2.1.2 Definisi Antropologi secara konseptual :
Haviland (1985) mengatakan bahwa antropologi sebagai studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya dan memperoleh pengertian lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Ariyono Suyono (1985) antropologi adalah ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik , kepribadian, masyarakat serta kebudayaanya.
Koentjaraningrat(1990), ilmu antropologi memperhatikan lima masalah mengenai makhluk manusia , yaitu :
1. Sejarah terjadinya perkembangan manusia sebagai makhluk Biologis
2. Sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia, dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya.
3. Persebaran dan terjadinya aneka warna bahasa yang diucapkan oleh manusia di seluruh dunia.
4. Perkembangan , persebaran, dan terjadinya aneka warna kebudayaan manusia di seluruh dunia.
5. Dasar-dasar dan aneka warna kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat-masyarakat dan suku-suku bangsa yang tersebar diseluruh bumi jaman sekarang ini.
2.1.3 Definisi Antropologi secara operasional
Antropologi adalah ilmu yang menjadikan manusia sebagai bahan studi nya dan mengamati perilaku manusia di dalam masyarakat yang bertujuan untuk mencapai pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari kehidupan manusia tersebut dalam berbagai aspek, dan juga mempelajari mengenai perkembangan manusia, sejarah terbentuknya keanekaragaman , persebaran, dan dasar-dasar keanekaragaman manusia.
2.1.4 Instrumen Variabel konsep Teori Antropologi
Teori
Dimensi
Indikator
Manusia
Evolusi Makhluk Hidup
Ciri-ciri Fisik
Perilaku
Kepribadian
Makhluk sosial
Makhluk Biologis
Hakikat Hidup Manusia
Berkarya
Kedudukan
Interaksi Sosial
Interaksi dengan Alam Semesta
Interaksi dengan Tuhan
Budaya
Agama
Norma
Mata Pencaharian
Kesenian
Bahasa
Baju Adat
Peralatan Hidup
Masyarakat
Hakikat Hidup
Proses Sosial
Interaksi Sosial
Staratifikasi
Pranata
2.2 Definisi Kebudayaan
2.2.1 Definisi Etimologis
Kata kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari busi atau akal , yang artinya hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
2.2.2 Definisi Konseptual
Kebudayaan adalah kebiasaan yang dibiasakan oleh manusia dengan belajar ( C. Wissler).
2.2.3 Definisi Operasional
Kebudayaan adalah hasil karya, karsa, cipta manusia yang terdapat dalam masyarakat dan menjadi cirri khas suatu masyarakat yang dijaga oleh masyarakat tersebut.
2.2.4 Instrument Variable Konsep
Teori
Dimensi
Indikator
K
E
B
U
D
A
Y
A
A
N
Manusia
Kebiasaan hidup
Hasil karya, karsa, cipta
Masyarakat
Muncul adat istiadat
Lahirnya norma-norma
2.3.4 Definisi Masyarakat Secara Operasional
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang bekerja sama, terorganisir menurut satu cara hidup tertentu yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan rasa persatuan yang sama serta terdiri dari golongan besar atau kecil yang masing-masing berinteraksi menurut suatu system tertentu yang saling terikat oleh kesamaan identitas bersama.
2.3.4 Instrumen Variable Konsep
Teori
Dimensi
Indikator
M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T
Manusia
Kebiasaan hidup
Hakikat hidup manusia
Makhluk Sosial
Berinteraksi
Penggolonan
Budaya
Adat Istiadat
BAB lll
Pluralisme Budaya dan Tantangan Arus Globalisasi di Indonesia
3.1 Definisi Globalisasi
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.
3.2 Sejarah Globalisasi
Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh
ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat maupun jalan laut untuk berdagang.
Fenomena berkembangnya perusahaan McDonald di seluroh pelosok dunia menunjukkan telah terjadinya globalisasi
Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, dan Venecia. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.
Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadi meningkatkan keterkaitan antarbangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.
Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indinesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Pretoleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antarnegara pun mulai kabur.
Ciri globalisasi
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.
¨ Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antarnegara menunjukkan keterkaitan antarmanusia di seluruh dunia
Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Teori globalisasi
Pakar globalis bernama Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teroritis yang dapat dilihat, yaitu:
Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut.
Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab.
Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi).
Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.
Gerakan pro-globalisasi
Pendukung globalisasi (sering juga disebut dengan pro-globalisasi) menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif pada produk kamera digital (mampu mencetak lebih efesien dan bermutu tinggi) sementara Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada produk kainnya. Dengan teori ini, Jepang dianjurkan untuk menghentikan produksi kainnya dan mengalihkan faktor-faktor produksinya untuk memaksimalkan produksi kamera digital, lalu menutupi kekurangan penawaran kain dengan membelinya dari Indonesia, begitu juga sebaliknya.
Salah satu penghambat utama terjadinya kerjasama diatas adalah adanya larangan-larangan dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu negara. Di satu sisi, kebijakan ini dapat melindungi produksi dalam negeri, namun di sisi lain, hal ini akan meningkatkan biaya produksi barang impor sehingga sulit menembus pasar negara yang dituju. Para pro-globalisme tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan tersebut, mereka menginginkan dilakukannya kebijakan perdagangan bebas sehingga harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya permintaan akan meningkat. Karena permintaan meningkat, kemakmuran akan meningkat dan begitu seterusnya.
Beberapa kelompok pro-globalisme juga mengkritik Bank Dunia dan IMF, mereka berpendapat bahwa kedua badan tersebut hanya mengontrol dan mengalirkan dana kepada suatu negara, bukan kepada suatu koperasi atau perusahaan. Sebagai hasilnya, banyak pinjaman yang mereka berikan jatuh ke tangan para diktator yang kemudian menyelewengkan dan tidak menggunakan dana tersebut sebagaimana mestinya, meninggalkan rakyatnya dalam lilitan hutang negara, dan sebagai akibatnya, tingkat kemakmuran akan menurun. Karena tingkat kemakmuran menurun, akibatnya masyarakat negara itu terpaksa mengurangi tingkat konsumsinya, termasuk konsumsi barang impor, sehingga laju globalisasi akan terhambat dan menurut mereka mengurangi tingkat kesejahteraan penduduk dunia.
Gerakan antiglobalisasi
Antiglobalisasi adalah suatu istilah yang umum digunakan untuk memaparkan sikap politis orang-orang dan kelompok yang menentang perjanjian dagang global dan lembaga-lembaga yang mengatur perdagangan antar negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Antiglobalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan sosial, sementara yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup sejumlah gerakan sosial yang berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta dipersatukan dalam perlawanan terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.
Namun, orang-orang yang dicap "antiglobalisasi" sering menolak istilah itu, dan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan Global, Gerakan dari Semua Gerakan atau sejumlah istilah lainnya.
3.2 Globalisasi kebudayaan
sub-kebudayaan Punk contohnya, adalah contoh sebuah kebudayaan yang berkembang secara global
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ).
Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi kultur. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.
Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan
Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.. Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya. Berkembangnya turisme dan pariwisata. Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain. Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain. Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.
BAB lV
PENUTUP
4.1 Penutup
Walaupun ada dampak negatif arus globalisasi budaya nasional terhadap budaya-budaya etnis, dapat diramalkan bahwa keetnisan masyarakat tidak hilang sama sekali. Dalam rumusan yang banyak terdapat di dlama UUD 1945 dinyatakan bahwa puncak-puncak kebudayaan daerah termasuk kebudayaan nasional. Hal tersebut tidak perlu diperdebatkan, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana bentuk budaya nasional tersebut.
4,2 Kesimpulan
Keetnisan janganlah ditonjol-tonjolkan, dan baiklah kita belajar dari pengalaman kelompok-kelompok etnis di bekas negara-negara komunis di Eropa Timur dan di benua Afrika yang tidak ada hbis-habisnya dilanda oleh pertentangan-pertentangan etnisisme yang mengerikan, sampai-sampai mengorbankan nasib berjuta-juta manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Murdock, G.P.
1949 Social Structure. New York, MacMillan
1966 Cross-Cultural Sampling, Ethnology 5
www.wikipedia.com